Sabtu, 11 Februari 2012

Impian Perawan



IMPIAN PERAWAN
Cerpen : Nugroho Sukmanto
Maria sendiri. Tidak lagi bersama Mario kekasihnya. Matanya menerawang, melahirkan khayal. Di tengah altar, Mario menyibak cadar kemudian memberikan ciuman. Lalu mereka larut dalam dansa. Menari, melayang-layang di gereja yang sunyi, beriring air mata mengucur tak terkendali. Maria menyesal, menyesal sekali. Mengapa harus mempertahankan keperawanan yang hanya menghadirkan perkawinan dalam lamunan.
***
Jari-jarinya piawai menari di atas keyboard komputer, sambil sesekali matanya menoleh ke catatan-catatan referensi. Maria tak akan berhenti menulis sebelum terpuaskan oleh naluri jurnalistik yang melipur hatinya. Hati seorang perempuan yang peduli akan pemberdayaan kaumnya. Melalui tulisan akan dia perjuangkan sekuat tenaga dan sepenuh jiwanya, walaupun raganya begitu lembut. Namun kelembutan tidak berarti kelemahan, apalagi menjadi kekalahan. Karena tekadnya setegar imannya. Yang tak akan pernah goyah oleh paksaan, apalagi hanya rayuan untuk menyerahkan tubuhnya.
Tak lama lagi pasti Mario datang, karena dia telah mengirim pesan, sudah ada panggilan boarding pada pesawat yang sebentar lagi tinggal landas menuju Jakarta. Masih saja terasa was-was. Jangan-jangan terjadi apa-apa. Tetapi seharusnya dia terhibur, Mario sudah berada di Makassar. Hingga perasaannya tidak lagi tercekam kekhawatiran, seperti saat Mario berada di Poso.
Setiap dia menyaksikan tayangan kerusuhan di sana, hatinya teriris, kemudian berlanjut dengan panjatan doa, agar Mario tidak menjadi salah satu korban, dan kepada mereka yang menderita, dilimpahkan kekuatan dan ketabahan.
Adakah kedamaian, mengganti kerusuhan?! Adakah kerukunan, mengganti permusuhan?! Itulah yang menjadi pertanyaan dan harapan Maria, seperti yang dinyanyikan Achmad Albar bersama penyanyi-penyanyi tenar lain. Menggugah kesadaran dan kepedulian untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan.
Kadang dia pasrah --ikhlas bila terjadi sesuatu padanya-- melihat luapan semangat dan pengabdian Mario untuk menghadirkan berita-berita aktual kerusuhan yang berisiko tinggi. Kepada Mario yang dijuluki "Papa Crazy" Maria mula-mula menaruh kekaguman, lalu menyampaikan penghargaan, kemudian meningkat penuh perhatian dan saat merasa berbalas, dia akhirnya mengutarakan isyarat cinta. Cinta yang kemudian berlanjut, intens terbina dalam kesamaan profesi, di ruang redaksi koran ternama Harian KAMPUS.
Akhirnya Mario tiba. Tetapi Maria tidak langsung memeluknya. Dia berikan kesempatan reporter-reporter yunior mengerumuni untuk mendapatkan cerita. Setelah selesai seluruh rekan-rekan sejawat memberikan salam, dia lambaikan tangan. Tentu saja Mario menyambutnya, menghampiri, dan kemudian erat mendekapnya
Setelah menyelesaikan tugas dihadang ambang tayang, satu per satu yang ada di ruang redaksi melangkah pulang. Ada yang masih tinggal tetapi tak kuasa menahan pejaman mata. Pulas, tersungkur di sudut ruang tempat matras-matras digelar. Sementara di ruang lain, kru cetak melanjutkan kesibukan
Hujan makin deras mengguyur. Diterpa angin malam bertualang, percikan air ikut menabur kedinginan. Imbasnya menjalar, menelusuri seluruh relung gedung. Gigil terasa merasuki tulang, setelah menembus pembungkus badan yang tak dipersiapkan menghadang. Tetapi kehangatan kopi yang disajikan Maria dan diseruput berdua, membuat ereksi otot-otot dan mengejakulasi syaraf-syaraf kelelahan mereka. Mungkin, kerinduan juga menjadi unsur stimulan, hingga mereka tetap bertahan, asyik bercengkerama tanpa merasa tersiksa.
"Terus, terus, terus…," Maria antusias ingin mendapat lanjutan cerita.
"Kuhalau tak mau mundur, kuhantam tiga orang yang mencoba memperbesar kobaran api. Lalu kuselamatkan anak yang menangis di dalam rumah yang terbakar. Dengan berlari, kupanggul anak itu, menghindari kejaran massa yang kesetanan," Mario menerangkan.
"Lalu ke mana anak itu?"
"Semula aku dikejar kelompok orang yang kuhajar tadi, dengan teriakan ’pengkhianat!’ Lepas dari kejaran kelompok itu aku terjebak dalam hadangan massa kelompok seberang, yang berteriak ’penculik!’ Kulepas saja anak itu, setelah yakin bakal diselamatkan, kemudian aku lari menyelamatkan diri."
"Mereka tahu siapa kamu?"
"Kelompok pertama pasti tahu, karena aku meliput mereka sejak kerumunan mulai terjadi. Sedang kelompok kedua mungkin mengenali identitasku, dari sarung tustel yang terjatuh, sesaat setelah keluar dari rumah itu."
"Tetapi, selanjutnya aman-aman saja kan?" Maria bertanya sambil meyakinkan. Mario tidak berucap, hanya memperlihatkan SMS dari salah seorang reporter lokal, yang berbunyi: Waspada, mereka bersumpah akan mengejarmu sampai ke liang kubur!
"Mengerikan sekali," Maria berkuduk. Tetapi hanya ditanggapi dengan senyum oleh Mario. Rupanya dia sudah terbiasa menerima pesan semacam itu. Bahkan banyak lagi yang lebih seram, sejak dia bergabung dalam aktivis HAM.
"Mama sakit, aku harus temui dia sekarang," Mario berkata sambil berkemas.
Kasihan, pikir Maria. Karena itu, dia tidak mampu menolak ketika Mario mengajak pulang ke rumahnya.
Mama Delarosa sangat mencintai anaknya, demikian pula Mario kepada ibunya. Mereka lama berpelukan saat berjumpa, seakan lupa Maria sedang berada di sampingnya. Walaupun seminggu ditinggal pergi, kamar tidur Mario tetap rapi. Hingga Maria hanya perlu rebah saja, setelah membersihkan diri. Sebelumnya, berdua mereka berdoa dalam keheningan. Tiada kata terucap. Hanya sebuah renungan, menghadapi saat-saat kematian yang pasti akan datang. Kemudian berharap juru selamat nanti akan tiba, nenuntunnya menuju surga.
Sebagai tanda sayang, menjelang berpisah, sebelum masing-masing loncat ke alam mimpi, Maria memberikan kecupan, yang dibalas Mario dengan ciuman. Selanjutnya Maria membiarkan Mario melumat bibirnya sepuas- puasnya. Memperoleh kenikmatan, dalam kerinduan, naluri wanitanya memanjakan tangannya memeluk kekasihnya. Sambutan itu ditanggapi Mario dengan remasan dan usapan lembut ke pipi Maria yang memerah. Sementara, perlahan bibirnya merayap ke dagu tengadah, kemudian ke jenjang leher dan akhirnya ke bawah lagi menapaki sembulan dada. Gelinjang-gelinjang lengan Maria membuat Mario tertantang. Rasanya semua organ tubuhnya menjadi mengeras kencang. Nafasnya pun mulai tersengal seakan mendaki, memaksa kejantanannya untuk segera dia buktikan. Tiba - tiba, "Jangan Mario!"
"Kenapa?"
"Aku masih bermimpi menikmati khidmatnya perkawinan," Maria menjawab sambil tangannya menopang dada Mario yang lapang.
Kapel akan terasa sakral dan pemberkatan menjadi lebih bermakna, manakala kesucian menyertai mempelai wanita. Dalam bayangnya, upacara pernikahan menjadi liturgi penyerahan mahligai cinta dalam tubuhnya. Untuk seterusnya, hingga yang telah dipersatukan tak akan terpisahkan, kecuali oleh sang Pencipta. Itulah keyakinan Maria.
"Tapi kamu tahu kan, menanti datangnya kesempatan itu, sebagai laki - laki normal, aku butuh penyaluran!" Mario menegaskan dengan sedikit kesal, kemudian melanjutkan, "Apa kamu tega, aku mencari penyaluran yang tidak benar?!"
"Mario, sebelum kita menikah, apa yang kamu lakukan bukanlah suatu pengkhianatan. Lakukanlah yang kau anggap baik buat dirimu," Maria seakan memberi izin dan saran.
"Kau mencintaiku kan?! Aku sayang sekali sama kamu Mario, pleeease!"
Di kamar mandi, diguyur semburan air dari shower yang deras mengucur membasahi sekujur badan, Mario meyaksikan perekat-perekat kental tergusur memasuki lubang pembuangan. Dia merasakan kenikmatan, tetapi terasa begitu cepat terlupakan. Yang tetap teringat adalah kenikmatan serupa tapi tak sama, saat menggeluti tubuh-tubuh yang berdesah-desah panjang.
***
Wieda tiba-tiba datang, mengembalikan undangan perkawinan Widodo yang seharusnya dia kirimkan ke teman-teman pengembang di daerah. Dia begitu tergesa, hingga tak sempat masuk ke rumah dan memperkenalkan pria yang menunggunya di mobil. Katanya dia akan ke luar kota. Dia memang ramah dan pandai bergaul. Biarpun sudah menjadi janda, kecantikannya tetap menawan. Banyak yang suka, hingga Asosiasi Pengembang Indonesia (API) menjadi bergairah dengan kehadirannya. Makanya, aku tidak setuju sewaktu Husodo sebagai Sekjen mengusulkan pemberhentiannya, karena dianggap kurang cakap bertindak sebagai direktur eksekutif. Selaku ketua umum, akhirnya aku tempatkan dia sebagai public relation (PR) manager dan kuangkat Pak Trisnadi, pensiunan pejabat Deplu, menduduki jabatannya.
Sebagai PR, Wieda mengusulkan agar API mempunyai majalah profesi. Secara aklamasi anggota dewan pengurus langsung menyetujui. Pada terbitan pertama, semua sepakat meminta foto dia menghiasi sampul depan.
Untuk pemotretan, Tiara sebagai pemimpin redaksi, menghubungi Maria teman sekolahnya di publisistik, untuk meminta kesediaan Mario melakukannya. Maria dengan senang hati menyambut permintaan Tiara, karena dia dengan Wieda juga kenal baik. Bahkan akrab, karena di Italia selama seminggu, hampir selalu bersama-sama. Saat itu Maria berkesempatan meliput Kongres Pengembang Sedunia, di mana Wieda ikut hadir sebagai salah satu peserta mewakili API. Selanjutnya Wieda dan Mario menjadi sering bertemu.
Sedikit banyak, aku tahu perjalanan hidup Wieda yang penuh cobaan. Tetapi, dalam duka, dia tetap tabah dan selalu tampil dalam keceriaan. Aku kagum dengan semangat hidupnya. Selain mengurusi asosiasi, dia aktif dalam sebuah organisasi penanggulangan narkoba, di bawah naungan lembaga kepolisian. Hal itu dilakukan sebagai dedikasi, setelah anaknya kehilangan salah satu penglihatan, saat mengalami kecelakaan sebagai pecandu obat terlarang. Musibah itu mengakibatkan hubungan dengan suaminya tidak harmonis lagi, karena terus-menerus saling menyalahkan. Akhirnya berakhir dengan perceraian.
***
Pagi-pagi buta keesokannya, aku mendapat telepon dari Maria. Dengan tersendat dia menginformasikan, "Bu Wieda meninggal…" Lalu menyampaikan permintaan, "Bapak bisa jemput saya untuk melihat jenazahnya?!"
"Ada di mana?"
"Di Serang," jawabnya.
Segera kupanggil Sukiman, sopirku yang tinggal di belakang rumah. Kupaksa dia menancap gas menuju alamat yang baru saja kuterima lewat SMS. Di sana sudah menunggu Maria bersama seorang ibu yang sudah lanjut usia. Maria memperkenalkan, dia adalah ibu dari Mario yang ikut tewas bersama Wieda.
Pikiranku kacau, aku tak kenal siapa Mario. Ingin kutanyakan kejadiannya, tetapi mereka berdua, dalam mobil sedang kalut menangis beriringan. Akhirnya ingatanku melayang menebak-nebak. Mungkin salah satu persoalan yang dihadapi Wieda menjadi penyebabnya. Terngiang jelas cerita Wieda selama dalam penerbangan ke Roma, sewaktu kuminta dia duduk di sebelahku, sementara istriku sedang ngobrol dengan Agus di tempat duduk belakang.
Persoalan pertama yang dihadapi adalah, perannya yang menonjol dan aktif dalam pemberantasan narkoba, membuat bandar dan pengedar merasa dirugikan, hingga mereka sering melakukan tindakan yang tidak menyenangkan, bahkan dapat dibilang berusaha mencelakakan.
Persolanan yang kedua, sebagai bendahara dia telah menarik dana kas yayasan sejumlah empat ratus juta rupiah, yang dipinjamkan ke salah satu karyawan. Katanya untuk menebus surat-surat rumah di BPPN. Dia berikan tanpa meminta tanda terima, karena rasa percaya. Tetapi saat ditagih, karyawan itu malah berang dan bahkan melontarkan ancaman seperti seorang psikopat.
Persolan yang ketiga, dia akhirnya berhubungan intim dengan petugas yang diminta untuk melakukan perlindungan fisik terhadap dirinya, dari kemungkinan maksud-maksud jahat pihak-pihak tertentu. Ternyata petugas itu pencemburu berat. Dia pernah menyampaikan pesan halus tapi menakutkan, agar Wieda tidak berhubungan dengan pria lain.
Persoalan yang keempat, ada seorang perwira tinggi yang sakit hati karena cintanya ditolak oleh Wieda. Sementara saat ini dia sedang sangat berkuasa dan sangat mungkin serta bisa berbuat apa saja.
Tangis Maria dan ibunya Mario makin menjadi selesai melakukan identifikasi. Setelah beberapa saat kupandangi wajah Wieda dan memanjatkan doa, kutinggalkan mereka berdua. Kuhampiri petugas yang sedang mengetik bahan untuk disampaikan kepada para wartawan. Sempat kubaca:
Diketemukan dalam keadaan tidak bernyawa, dalam mobil di tempat duduk belakang, yang sedang parkir di sebelah Villa Tarantula, Anyer. Mayat wanita mengenakan rok ketat tanpa celana dalam, sementara mayat pria dengan celana panjang blue jeans yang terperosot sampai ke lutut. Didapati ceceran sperma di pakaian kedua jenazah dan di atas jok mobil. Pria berinisial MR, wanita berinisial WD.
Apa mungkin keracunan CO2 seperti yang disinyalir, aku bertanya-tanya. Setelah cukup lama kutunggu, akhirnya Maria serta ibu Mario keluar, bersama serombongan keluarga, mungkin dari pihak Wieda.
Ternyata setelah melalui rapat, mereka sepakat, menolak jenazah keduanya untuk diotopsi. Membiarkan kematian mereka tetap berselimut misteri. ***
Bintaro Jaya, 19 Oktober 2005.

Dongeng Lukisan Kontempor


DONGENG LUKISAN KONTEMPOR
Cerpen: Agus Dermawan T

Barangkali sampai kapan pun aku tetap percaya kepada kata-kata orang-orang tua. Karena sejauh perjalanan hidupku, yang dikalimatkan "orang- orang dulu" senantiasa tidak pernah keliru. Satu dari seribu orang tua itu berkata : manusia selalu menciptakan batu uji untuk mengukur emas, namun manusia lupa bahwa sesungguhnya emas adalah batu uji untuk mengukur derajat manusia. Kata-kata bak mutiara itu aku simpan terus dalam benak. Sampai aku akhirnya memperoleh bukti kebenarannya lewat sepotong kisah hidup Pat Gandaharta.

*
Pat adalah seorang art dealer dan promotor pameran lukisan di Jakarta yang penuh keberanian. Dan ihwal keberanian itu ditunjukkan kepada banyak orang lewat upayanya membeli-habis semua karya seorang pelukis yang ia senangi. Tidak cukup dengan membeli habis! Pat bahkan sering menebas karya pelukis yang digandrunginya dengan perjanjian jual beli sepanjang karier. Artinya, semua lukisan seniman itu, yang telah atau yang akan dicipta, adalah haknya sampai kapan pun.
Pat berani melakukan perjanjian ini nampak semata atas pertimbangan-pertimbangan bisnis. Bukan pertimbangan seorang pengolah kesenian. Dan satu titik faktor yang kuat mendorong adalah prediksinya bahwa seluruh lukisan seniman yang dikuasainya akan laku dijual sehingga bisa mendatangkan untung yang bertimbun-timbun. Bukankah tumpukan keuntungan akan menjadikannya kaya raya? Satu-satunya cita-cita Pat dari awal memang ingin kaya raya. Ia berpikir bahwa dengan kaya dirinya bisa menguasai segalanya.
Pat memang lihai dalam mencari siasat mengayuh obsesinya itu. Untuk menjalankan monopolinya, dan demi melancarkan bisnisnya itu, ia menggunakan jasa sejumlah kritikus serta kurator seni. Dan perihal upayanya yang berani itu ia lalu mengumumkannya kepada siapa saja, bilamana dan kapan saja.
"Sekarang saya memegang pelukis Arminati. Ini pemberitahuan, lho. Sehingga siapa pun tak berhak mengambil karya Arminati dari studionya. Dan semua pembutuh lukisan yang menghendaki karya Arminati hanya bisa membeli dari saya. Seluruh karya Arminati adalah gunung emas saya. Arminati adalah pelukis kontempor sejati milik saya," kata Pat bangga. Ia selalu menyebut kontemporer dengan kata kontempor. Biar rada serem, katanya.
*
Di sebuah siang, di ruang tunggu bandar udara Yogyakarta aku bertemu dengan Rus, sahabat karib Pat. Sebagaimana biasanya basa-basi orang berjumpa, Rus menanyakan keperluanku pergi dari Jakarta ke Yogyakarta. Sungguh mati aku sebenarnya tak suka dengan pertanyaan yang mengurus-urus begitu. Karena bagiku itu perbuatan tak bermanfaat dan mengganggu. Lantaran itu aku menjawab sekenanya. Jawaban berbohong, yang sekadar bisa membuat ia puas saja.
"Sebetulnya begini. Aku baru menyelesaikan transaksi dengan pelukis Arminati. Empat lukisannya sudah kubeli putus. Besok ia mengirim semua lukisan itu ke Jakarta".
Tidak kuduga, Rus percaya kepada jawabanku itu, sehingga terkejut bukan main. Ia tahu bahwa Arminati sesungguhnya tak boleh menjual karyanya ke orang lain di luar Pat Gandaharta. Meskipun di wajahnya nampak permakluman atas sifat pelukis, yang lantaran tak terlalu mau memahami kode etik, sering melakukan selingkuh bisnis. Dari rona mukanya aku yakin Rus tidak curiga bahwa jawabanku itu hanya senda gurau belaka. Terlihat ia tidak tahu bahwa sesungguhnya aku tidak pernah berminat mentransaksi dan memiliki lukisan Arminati, sebingkaipun, sepotongpun, secuilpun. Karena aku memang tidak suka.
Pesawat terbang siap diberangkatkan. Kami bergegas menelusuri gardarata, masuk lambung pancargas, dan segera dipisahkan oleh nomor seat. Dan aku tak terlibat perbincangan lagi dengan Rus. Tak lama kemudian kami telah kembali menginjak Ibukota.

Terik matahari Jakarta sedang kuat memanggang ketika teleponku berdering. Suara Pat terdengar dari seberang sana. Dengan nada yang diramah-ramahkan pedagang lukisan ini mengkonfirmasi, apakah benar aku memiliki empat lukisan Arminati. Tentu saja, dengan kegelian yang mantap aku mengatakan benar. Lalu ia berkata bahwa seluruh lukisan Arminati yang "ada di tanganku" itu sesungguhnya adalah haknya, karena sudah ada komitmen antara Arminati dan dirinya. Sambil pura-pura terperanjat aku menjawab, tentu dengan berbohong, bahwa lukisan itu kubeli bukan dari Arminati langsung, namun dari orang lain.
Pat berkata bahwa ia ingin memborong semua lukisan Arminati yang kumiliki itu. Aku jawab, silakan saja. Hanya sayang, kataku ngibul, semua lukisan itu sekarang sudah ada di tangan beberapa kolektor, yang kemarin sore ramai-ramai membelinya. Lukisan kontempor 'kan lagi seru pasarnya, kataku. Kudengar di seberang Pat agak terdiam. Lalu dengan kasar ia menutup teleponnya.
Hari telah melangkahi minggu. Pada suatu sore teleponku berbunyi. Ya, telepon dari Pat. Pat berkata bahwa ia telah mengetahui duduk soal empat lukisan Arminati itu. Ia berkata serius bahwa lukisan-lukisan tersebut bermasalah. Karena semua adalah hasil curian. Tak percaya? Dengarkan dongeng ini.
Seorang fanatikus lukisan membobol studio Arminati beberapa tahun lalu. Lukisan yang dijarah kabarnya sempat diterbangkan ke Amsterdam guna dilelang biro Christie's periode spring. Namun biro ini menolak karena persoalan waktu. Lalu karya-karya kontempor itu diboyong ke Singapura untuk dimasukkan ke lelang Sotheby's. Tapi belum sampai biro itu mendaftarkannya sebagai entry, seorang art dealer besar dari Jawa Tengah mencegahnya, dan membeli langsung empat ukisan itu. Ciptaan Arminati pun kembali ke Yogyakarta.
Oleh karena itu, aku diminta mengumpulkan lukisan curian itu kembali, dan menyerahkan kepada Pat. Kalau tidak, Pat dan Arminati akan melapor ke polisi. Dan aku bisa terseret dalam perkara yang berbahaya. Luar biasa.
Dalam kegelian aku masih bisa pura-pura terkejut dan menyatakan prihatin kepada Pat. Namun, di balik tawaku yang mampat, rasanya aku benar-benar terhenyak. Kubayangkan, betapa indahnya cerita perjalanan panjang empat lukisan yang tidak pernah ada itu. Sekaligus betapa rusuhnya benak Pat sehingga bisa mengarang alibi yang begitu sempurna.

Di pagi yang sumringah aku lagi-lagi menerima telepon. Seseorang yang mengaku berpangkat polisi brigadir satu men-jelaskan bahwa sebentar lagi ada petugas mengantar surat panggilan. Aku akan diminta keterangannya di kantor polisi.
Di belakang meja kantor yang agak lusuh, seorang polisi penyidik berkata bahwa ada pelapor bernama Pat Gandaharta, berdasarkan laporan Rus, menyebut diriku sebagai penadah lukisan-lukisan curian. Lukisan itu berjumlah empat, karya Arminati, seorang pelukis muda kontempor yang sudah menyandang rupiah tinggi, setelah kritikus dan kurator yang dibayar setengah mati "menggoreng" atau menaik-naikkan harga lewat aneka muslihat.
Polisi berkata bahwa aku bisa disebut telah melakukan tindakan keliru, dan masuk dalam wilayah hukum pidana. Namun, sambung polisi itu lebih lanjut, semua bisa dibuat kelar apabila aku mau mengembalikan semua lukisan yang masuk dalam berkas perkara. Tentu saja aku menolak tuduhan ter- sebut. Aku katakan bahwa sesungguhnya empat lukisan yang pernah kusebut-sebut itu cuma khayal. Semua hanya bermula dari jawaban iseng yang kuberikan kepada Rus, sahabat Pat yang menjengkelkan. Namun polisi buru-buru menyuruhku untuk tidak menyangkal, karena ia sudah memegang "bukti"-nya.
Lalu, dikeluarkanlah empat foto lukisan Arminati yang katanya kutadah itu. Aku tatap foto-foto itu selintas. Yang satu berwarna biru, yang dua hijau. Yang satu kelabu dengan nuansa-nuansa merah jambu.
"Nah, menurut Pat, inilah lukisan yang paling ia sayangi. Katanya, lukisan ini tak kalah belaka dengan karya Aspandi atau Matador Dadali atau siapalah namanya. Dan menurut keterangannya pula, lukisan inilah yang menjadi target penadahan pencinta lukisan, untuk kemudian dipalsukan. Ada kecurigaan, Saudara, ya Saudara, yang menadah dan siap memalsukan lukisan ini!" kata polisi dengan nada bersungguh-sungguh. Ketika mengucapkan kata "saudara", telunjuknya menuding diriku. Aku merasa, mataku terbelalak tiba-tiba.
Polisi itu mengamati lagi foto-foto lukisan tersebut. Ia nampak memicingkan matanya seraya menunjukkan foto-foto itu kepada beberapa rekannya. Bisik-bisik dan senyum geli mereka lalu nampak mewarnai. Gerak tingkah yang menandakan bahwa para polisi itu tak mengerti atas keindahan lukisan-lukisan yang sedang dihadapi. Mungkin pikiran mereka ber- tutur, goblok benar orang-orang ini, benda-benda macam begitu saja diramaikan di kantor polisi.
Menghayati perkembangan perkara yang semakin absurd dan bohong bagai cerita pendek, aku mendadak sangat terpesona. Aku semakin ingin tahu, sampai di mana peristiwa ajaib ini bermuara. Aku ingin paham setinggi mana derajat manusia Pat dalam mengelolah bisnis dan gunung emasnya. Bagaimana konsep keserakahannya bisa melahirkan praktik yang membabibuta dan konyol, sehingga ia menguras seluruh tenaga demi memburu-buru sesuatu yang kosong, yang nol.
Aku berhasrat melihat, sampai sekuat apa nafas Pat sanggup mengejar semua bungkah benda yang fatamorgana itu. Memang, aku jadi sungguh berhasrat melanjutkan langkah untuk meniti akhir dari teka-teki sepak terjang dan kegilaan manusia Pat Gandaharta. Meja pengadilan, mungkinkah jadi kulminasi peristiwa?

Pada sepotong hari dengan sukacita aku berhadapan dengan jejeran aparat hukum. Meja berwarna hijau berkilau di mana-mana. Jubah hitam hakim kelihatan mengancam siapa pun yang salah dan siap kalah. Dan jaksa nampak berapi-api menunjukkan "bukti" dan alibi. Sungguh aku harus tertawa merasakan persidangan yang penuh kebohongan ini. Sampai akhirnya kudengar palu diketukkan pelan, tapi membuat diriku nyaris pingsan.
Polisi membukakan pintu untukku. Matahari terasa begitu benderang. Tapi kondisi Jakarta masih juga suram seperti 222 hari silam, ketika aku belum diringkuk dalam sel. Ketika aku belum dipaksa cuma bermain halma dengan sipir penjara. Ketika aku belum ditekan untuk menghayati kesuraman waktu yang tidak pernah aku ciptakan.
Dari trotoar, di kejauhan kulihat seorang wanita berteriak-teriak geram lantaran terjambret tasnya. Wanita naas itu tersedu dan lantas merapat ke tembok yang dipenuhi poster bekas pilkada bergambar lelaki berkumis tersenyum manis.

Dari trotoar kulihat mobil mewah seri terbaru milik Pat melintas dengan cepat. 
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikotropika